WASIAT TERAKHIR ‘ ROSIHAN ANWAR ‘ UNTUK PERS

Balikpapan (ANTARA News) – “Pers itu bukan pemangku kekuasaan, karena kekuasaan itu identik dengan politik. Politik dalam kekuasaan punya kemampuan untuk menguasai pemerintah, bisa memaksakan kehendak, bisa mengerahkan polisi. Pers tidak begitu.”

Kalimat tersebut diucapkan Rosihan Anwar pada Kamis, 24 Februari 2011, dalam diskusi Liputan Konflik di Sekretariat Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat. Itulah pesan terakhir di forum terbuka dari Rosihan yang meninggal dunia di usia 89 tahun pada Kamis ini sekira pukul 08.00 WIB.

Diskusi dihadiri sejumlah tokoh pers, antara lain Sabam Siagian, Fikri Jufri, Djafar H. Assegaf, Arswendo Atmowiloto, dan Margiono. Hadir pula Brijen Pol. Untung Yoga Ana dari Divisi Hubungan Masyarakat Kepolisian Negara RI (Humas Polri).

Awalnya Rosihan Anwar memilih menjadi pendengar yang baik. Kala itu ia datang menggunakan tongkat dan penyangga leher, serta duduk di samping kiri Arswendo yang menjadi salah seorang pembicara diskusi.

Namun, Pak Ros –demikian sapaan akrab bagi Rosihan Anwar– tiba-tiba saja angkat bicara untuk menegaskan bahwa pers bukanlah pemangku kekuasaan. Pasalnya, ia menilai, sangat salah kaprah jika ada pejabat negara yang berkomentar posisinya sama dengan pers sebagai pemangku kekuasaan dalam demokrasi.

“Pers tidak mempunyai kekuasaan untuk memaksakan kehendak, karena pers hanya mencari informasi dan akses untuk menyiarkannya kepada masyarakat. Pers tidak berwenang memaksakan kehendak kepada masyarakat,” ujar pria kelahiran Kubang Nan Dua, Sirukam, Kabupaten Solok, Sumatera Barat, pada 10 Mei 1922, tersebut.

Ia pun melanjutkan, “Biar saja ada orang, pejabat asal sebut dan asal tempatkan  posisi pers semaunya dia. Tapi, kita, pers harus berani menarik garis kalau pers itu pembela kepentingan rakyat yang sebenarnya. Sudahlah, saya tidak mau ambil pusing soal komentar aneh-aneh. Saya tidak mau sesak nafas.”

Pendapat Pak Ros spontan diamini Arswendo. “Pers seringkali disebut lebah tanpa sengat,” katanya.

Arswendo pun saat itu berkomentar, “Ini wasiat penting Pak Ros bagi kita semua, terutama pers. Ini juga kritik untuk penguasa. Ini pendapat agung dari Pak Rosihan Anwar yang harus kita akui sebagai salah satu anugerah besar Tuhan untuk bangsa Indonesia.”

Pendapat Arswendo agaknya sangat sulit untuk dipungkiri. Pak Ros adalah sosok multi-zaman sekaligus multi-talenta. Ia menjadi wartawan sejak berusia 20 tahun, dimulai dari Asia Raya pada masa penjajahan Jepang 1943, kemudian Merdeka (1945-1947), dan harian Siasat hingga menjadi Pemimpin Redaksi (1947-1957), serta dan Pedoman (1948-1961). Selain itu, ia ikut mendirikan Perusahaan Film Nasional Indonesia (Perfini) pada 1950, bahkan bermain film “Darah dan Doa”.

Harian Pedoman dibredel pemerintahan Soekarno pada 1961. Rosihan kembali mendirikan Pedoman di era Orde Baru, namun dibredel kembali pada 1974, tepat setahun setelah menerima pengalungan Bintang Mahaputra kelas III dari Presiden Soeharto. Namun, Rosihan ibarat “baja yang sulit dipatahkan” dalam urusan memperjuangkan kebebasan berekspresi dan kemerdekaan pers.

Ketua Dewan Pers periode 2000-2003, Atmakusumah Astraatmadja, menilai Rosihan Anwar adalah tokoh yang tak kenal kompromi untuk perjuangkan kebebasan berekspresi dan kemerdekaan pers, serta memiliki semangat yang tidak pudar untuk memajukan pers nasional.

“Semangatnya ini dibuktikannya secara langsung, antara lain dengan tetap menulis secara jernih, lugas, dan tanpa kompromi menanggapi berbagai masalah sosial. Ia terus menulis sampai akhir hayatnya. Ini pelajaran positif bagi wartawan Indonesia,” ujar mantan wartawan harian Indonesia Raya dan penyiar Radio Australia itu.

Semangat Pak Ros yang senantiasa menyala itulah yang menempatkan dirinya bersama Ny. Herawati Diah (kini 95 tahun) dianugerahi “Life Time Achievement” (prestasi sepanjang hayat) dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) pada 2007. Keduanya termasuk pendiri PWI di Solo, Jawa Tengah, pada 9 Februari 1946. Rosihan juga pernah menjadi Ketua Umum PWI Pusat dan Ketua Dewan Kehormatan PWI.

Komunitas Hari Pers Nasional (HPN) –yang terdiri atas PWI, Dewan Pers, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Serikat Penerbit Suratkabar (SPS), Serikat Grafika Pers (SGP), Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI), Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI), Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) dan Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI)– pada 9 Februari 2010 di Palembang, Sumatera Selatan, menganugerahi Medali Emas Spirit Jurnalisme kepada Pak Ros.

Spirit Rosihan juga mewarnai ranah sastra. Sepanjang hayatnya lebih dari 24 buku ditulisnya, mulai dari bergenre novel, catatan perjalanan hingga text book jurnalisme. Ia juga konseptor Karya Latihan Wartawan (KLW) bagi anggota PWI, selain menulis buku Bahasa Indonesia Jurnalistik.

Dalam sosoknya yang tegas, Pak Ros dikenal hangat dan suka berkelakar. Saat Panitia Pusat HPN 2010 menyampaikan tali asih tambahan, ia pun berujar, “Ah, bisa saja kalian ini. Kerja kalian bergaya intel. Kalian tahu pasti kalau orang setua saya sudah tidak perlu penghargaan tetek bengek. Orang tua ini lebih butuh duit. Hiduplah pers yang tahu diri.”

(*Priyambodo RH)

Tinggalkan komentar